Kamis, 15 November 2012

Pluralisme dan Dialog Antar Agama


PLURALISME DAN DIALOG ANTAR AGAMA
A.      Definisi
Secara etimologis, pluralisme agama, berasal dari dua kata, yaitu “pluralisme” dan “ agama”. Dalam bahasa arab diterjemahkan “al-ta’addudiyyah al-díniyyah”   dalam bahasa Inggris “ religious pluralism”. Oleh karena istilah pluralisme agama ini berasal dari bahasa Inggris, maka untuk mendefinisikannya sacara akurat harus merujuk kepada kamus bahasa tersebut. Pulralism berarti “jama’ “ atau lebih dari satu. Dalam kamus bahasa Inggris mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan:( i)sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur  kegerejaan, (ii) memegang dua jabatan atau lebih secara kebersamaan, baik bersifat kegerejaan  maupun non kegerejaan. Kedua,pengertian filosofis:  berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. Sedangkan  ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok (hidup bersama secara damai), baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik diantara kelompok-kelompok tersebut.[1]  Ketiga pengertian diatas sebenarnya bisa disederhanakan dalam satu makna, yaitu koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing.
Sementara itu, definisi agama menurut para pemikir barat telah mengundang perdebatan dan polemik yang berkepanjangan baik di bidang ilmu filsafat agama, teologi, antropologi, maupun di bidang ilmu perbandingan agama sendiri. Maka dari itu, untuk mendefinisikan agama, setidaknya bisa menggunakan tiga pendekatan, yakni dari segi “fungsi”, ”institusi”, ”dan substansi”. [2] Para ahli sejarah sosial cenderung mendefinisikan agama sebagai suatu institusi historis--suatu pandangan hidup yang institutionalized yang mudah dibedakan dari yang lain jenisnya, misalnya secara alami sangat mudah membedakan antara Budha dan Islam dengan hanya melihat sisi kesejarahan yang melatarbelakangi keduanya dan dari perbedaan sistem kemasyarakatan, keyakinan, ritual dan etika yang ada dalam ajaran keduanya.
Sementara para ahli dibidang sosiologi dan antropologi cenderung  mendefinisikan agama dari sudut fungsi sosialnya--yaitu suatu sistem kehidupan yang mengikat manusia dalam suatu satuan-satuan atau kelompok –kelompok sosial. Sedangkan kebanyakan pakar teologi, fenomenologi dan sejarah agama melihat agama dari aspek substansinya yang sangat asasi--yaitu suatu yang sakral (the secred). Sebenarnya ketiga pendekatan di atas tidaklah bertentangan, melainkan saling melengkapi, dari uraian di atas, definisi agama yang paling tepat adalah yang mencakup semua jenis agama, kepercayaan, sekte maupun berbagai jenis ideologi modern seperti komunisme, humanisme, sekuralisme, nasionalisme dan lainnya.  Dan jika “pluralisme” dirangkai dengan “agama” sebagai predikatnya, maka berdasarkan pemahaman tersebut di atas bisa dikatakan bahwa “pluralisme agama” adalah kondisi hidup bersama (koeksistensi) antar umat beragama (dalam arti luas) yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama. [3]
Dalam konteks menghadapai kemjemukan agama dan keyakinan, para sarjana, terutama dari kalangan Kristen, telah sejak lama merumuskan tipologi respons para pemeluk agama. Beberapa model yang paling terkenal diantaranya adalah: eklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme.  Pertama, eklusivisme, yaitu pandangan dari keyakinan kelompok bahwa hanya agama/keyakinan mereka saja yang membawa keselamatan dan kebahagiaan, sementara agama lain tidak. Kedua, inklusivisme, yaitu pandangan yang meyakini, mengakui dan merayakan kehadiran tuhan yang menyatakan diri pada banyak agama dan menyelamatkan para pemeluknya sepanjang sejarah. Namun kelompok ini tetap meyakini bahwa agamanya yang paling sempurna diantara agama lainnya. Ketiga, pluralism, yaitu keyakinan seseorang atau kelompok keagamaan bahwa segenap agama-agama dan keyakinan adalah jalan-jalan keselamatan (menuju Tuhan) yang sama-sama abash. [4]
John Cobb, seorang teolog kenamaan dari Harford Seminary, Amerika, menambahkan dengan istilah “teologi transformatif” yang di nilainya merupakan penyempurnaan dari teologi pluralis.  Lebih jauh lagi, penganut satu agama harus mampu melakukan transformatif diri dengan sikap terbuka untuk belajar dan menggali kearifan pada agama dan tradisi lain.  Ninian Samrt, Komaruddin Hidayat menyebut 5 tepologi respons. Hans Kung, Paul Knitter  4 tipologi 371-372.
B.      Sejarah Perkembangan Pluralisme Agama
Pemikiran pluralisme agama muncul pada masa yang di sebut Pencerahan (Enlightenment) Eropa, tepatnya pada abad ke-18 Masehi, masa yang sering disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Yaitu masa yang diwarnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada suprerioritas akal (rasionalisme) dan pembesanan akal dari kungkungan-kungkungan agama. Di tengah pergolakan pemikiran di Eropa sebagai konsekuensi logis dari konflik-konflik yang terjadi antara gereja dan diluar gereja,muncullah paham yang dikenal dengan “liberalisme” yang berkomposisi utamanya adalah kebebasan, toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme.
Meskipun angin pluralisme sudah mulai mewarnai pemikiran Eropa pada saat itu, namun itu belum mengakar kuat dalam kultur masyarakatnya. Ternyata masih ada beberapa sekte Kristen yang mengalami perlakuan diskriminatif dari gereja, contohnya yaitu sekte Mormon yang tetap tidak diakui oleh gereja karena dianggap gerakan heterodox. Begitu juga, doktrin “diluar gereja tidak ada keselamatan” yang tetap dipegang teguh oleh Gereja Katolik, hingga dilangsungkan Konsili Vatikan II pada permulaan tahun 60-an abad ke-20 yang mendeklarasikan doktrin “keselamatan umum” bahkan bagi agama-agama selain Kristen.
Dalam kasus di atas dapat disimpulkan bahwa gagasan pluralisme agama sebenarnya merupaka upaya peletakan landasan teoritis dalam teologi Kristen untuk berintraksi secara toleran dengan agama lain. 
C.      Sebab-sebab Timbulnya Teori Pluralisme Agama
 Sebab-sebab lahirnya teori pluralisme agama secara umum dapat diklasifikasikan pada dua faktor utama yaitu faktor internal (Ideologis) dan faktor eksternal, yang mana antara satu faktor dengan faktor yang lainnya saling mempengaruhi dan saling berhubungan erat:
1.       Faktor Internal (Ideologis) merupakan faktor yang tombul akibat tuntutan akan kebenaran mutlak (absolute truth-claims) dari agama itu sendiri, baik dalam masalah aqidah,(Ketuhanan, Keterpilihan, Pembebasan dan Keselamatan ), konflik-konflik sejarah (agama-agama Semitik yaitu Islam, Yahudi dan Kristen tentang kisah penyaliban Isa al-Masih a.s)
2.        Faktor Eksternal yang timbul dari luar dapat diklasifikasikan ke dalam dua hal, yaitu faktor sosio-politis dan faktor ilmiah.
a.       Faktor sosio-politis adalah dikrenakan berkembangnya wacana-wacana sosio-politis, demokrasi, dan nasionalisme yang telah melhirkan sistem negara-bangsa (nation-state), dan kemudia mengarah pada apa yang dewasa ini dikenal dengan “globalisasi’, yang merupakan hasil praktis dari sebuah proses sosial-politis yang berlangsung selama kurang lenih tiga abad.
b.      Faktor Keilmuan: Gerakan Kajian-Kajian “Ilmiah” Modern terhadap agama-agama dunia, atau yang sering juga di kenal dengan studi perbandingan agama (religionswissenschaft).
D.      Dialog Antar Umat Beragama
Di dalam kehidupan ini. Kita manusia tidaklah dapat lepas dari interaksi dengan yang ada disekitar kita. Demikian juga kaum beragama tidaklah semerta ia hidup sendirian. Ada umat beragama lain yang di luar dirinya. Sering terjadi kesalahpahaman dan juga konflik-konflik yang sampai-sampai menimbulkan pertumpahan darah. Untuk mencegah hal itu terjadi maka perlu di adakannya interaksi/dialog mutualisme dalam rangka menyelesaikan konflik tersebut. Karena itu dengan berdialog, menurut Knitter, umat dari berbagai tradisi agama semakin sadar bahwa untuk memahami dan menghayati  kehidupan iman mereka dalam dunia saat ini, mereka harus berdialog dengan para penganut agama lain maupun dengan mereka yang menderita di bumi ini. [5] Karena dialog sama sekali tidak mnegurangi rasa kesetiaan yang utuh dan jujur dalam imannya sendiri, melainkan memperkaya dan memperkuatnya. Kenyataan ini sudah disaksikan oleh banyak orang.
Dialog sama sekali bukan suatu percobaan bagi sinkretisme. Dialog justru dapat dijadikan kekuatan melawannya karena diadalam dialog kita mengenal kepercayaan ornag lain sedalam-dalamnya. Kepercayaan kita sendiri dengan demikian diuji, diperluas dan diperkuat. Percobaan yang sebenarnya bagi iman terletakdalam hubungan iman itu keluar.
Dialog adalah kegiatan kreatif bersama yang membebaskan seseorang  sistemya yang tertutup dan kaku, yang kebetulan ia ditempatkan berdasarkan kelahirannya. Dialog meningkatkan kebebasan spiritual dan memberikan gambaran tentang dimensi kehidupan rohani yang lebih luas ketika seseornag mampu berpartisipasi dalam spiritualitas orang lain.
Dialog adalah suatu hal yang asasi dalam mengubah sikap negative kita terhadap orang-ornag beragam lain, sikpa yang membuat kesaksian kita tidak berdaya dan tidak bermakna. Suatu sikap negative yang mengundang reaksi penolakan. Jika kita tidak bersedia menerima ornag lain dengan kasih, maka mereka pun akan menolak kita. Agama Kristen sering ditolak karena ia sendiri menolak agama-agama lain. Jika kita tidak bersedia mendengarkan orang lain maka mereka juga tidak mau mendengarkan kita. Dalam keadaan sedemikian, pemberitaan Injil yang hakiki tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu, dialog adalah suatu hal asasi dalam menghilangkan salah paham dan prasangka yang pernah timbul di masa lalu, atau yang disebabkan oleh sikap penolakan terhadap agama-agama dan aliran-aliran kepercayaan lain. Dialog seharusnya menciptkan suatu suasana sehat yang di dalamnya kita dapat saling member dan menerima, mendengar dan memberitakan. Dialog menjadi suatu yang asasi bagi kita dalam proses menemukan ‘wajah Asia’ Kristus sebagai hamba yang menderita, sehingga Gereja sendiri dapat dibebaskan dari kecenderungan hanya memperhatikan dirinya sendiri yang sudah begitu terlembagakan dan agar Gereja dapat memainkan peran seorang hamba dalam membangun persekutuan-persekutuan dalam kasih Allah atau Kerajaan Allah. [6] 



Definisi agama yang paling tepat. Yang paling tepat?
Kenapa di dunia barat menyalahkan pada agama yang lain?

Daftar Pustaka
Thoha, Anis Malik, 2005, TREN PLURALISME AGAMA, Jakarta: Perspektif
Schuman ,H. Olaf, 2008,  Dialog antarumat beragama, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia
Bahri ,Media Zainul, 2011, Satu Tuhan Banyak Agama, Jakarta: Mizan Publika



[1] Dr. Anis Malik Thoha, TREN PLURALISME AGAMA, cet.ke-1 (Jakarta: Perspektif: 2005), hal. 12
[2] Pendekatan ini adalah yang dikenal luas di Barat. Namun Dr. M. ‘Abdullah Darraz mempunyai pendapat lain. Menurutnya agama dapat didefinisikan dari dua aspek:pertama,sebgai keadaan psikologis (etat subjectif), yakni: relijuisitas;dengan demikian agama adalah kepercayaan atau keimanan kepada Zat yang bersifat ketuhanan yang patut ditaati dan disembah. Kedua sebagai hakikat eksternal (fait object), bahwa agama adalah seperangkat panduan teoritis yang mengajarkan konsepsi ketuhanan dan seperangkat aturan praktis yang mengatur aspek ritualnya.  
[3] Ibid, Hal.14                                                                                                                                                                                         
[4] Media Zainul Bahri, Satu Tuhan Banyak Agama, (Jakarta: Mizan Publika, 2011), hal.369-370
[5]    Media Zainul Bahri, Satu Tuhan Banyak Agama, (Jakarta: Mizan Publika, 2011), hal. 390-391
[6]  H. Olaf Schuman, Dialog antarumat beragama, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2008),hal. 27-28

2 komentar:

  1. sangat bermanfaat ne artikel.. makash gan atas bantuannya.. lanjutkan... janga lupa sering2 baca sabda hairus saleh..

    BalasHapus
  2. hahah.. iya juragan sateeee,,,,

    BalasHapus