PLURALISME
DAN DIALOG ANTAR AGAMA
A.
Definisi
Secara etimologis, pluralisme agama, berasal dari dua kata, yaitu
“pluralisme” dan “ agama”. Dalam bahasa arab diterjemahkan “al-ta’addudiyyah
al-díniyyah” dalam bahasa Inggris “ religious
pluralism”. Oleh karena istilah pluralisme agama ini berasal dari bahasa
Inggris, maka untuk mendefinisikannya sacara akurat harus merujuk kepada kamus
bahasa tersebut. Pulralism berarti “jama’ “ atau lebih dari satu. Dalam
kamus bahasa Inggris mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian
kegerejaan:( i)sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam
struktur kegerejaan, (ii)
memegang dua jabatan atau lebih secara kebersamaan, baik bersifat
kegerejaan maupun non kegerejaan. Kedua,pengertian
filosofis: berarti sistem pemikiran yang
mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu.
Sedangkan ketiga, pengertian
sosio-politis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman
kelompok (hidup bersama secara damai), baik yang bercorak ras, suku, aliran
maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat
karakteristik diantara kelompok-kelompok tersebut.[1]
Ketiga pengertian diatas
sebenarnya bisa disederhanakan dalam satu makna, yaitu koeksistensinya berbagai
kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya
perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing.
Sementara itu, definisi agama menurut para pemikir barat telah mengundang
perdebatan dan polemik yang
berkepanjangan baik di bidang ilmu filsafat agama, teologi, antropologi, maupun di bidang ilmu perbandingan agama
sendiri. Maka dari itu, untuk mendefinisikan agama, setidaknya bisa menggunakan
tiga pendekatan, yakni dari segi “fungsi”, ”institusi”, ”dan substansi”. [2]
Para ahli sejarah sosial cenderung mendefinisikan agama sebagai suatu
institusi historis--suatu pandangan hidup yang institutionalized yang
mudah dibedakan dari yang lain jenisnya, misalnya secara alami sangat mudah
membedakan antara Budha dan Islam dengan hanya melihat sisi kesejarahan yang
melatarbelakangi keduanya dan dari perbedaan sistem kemasyarakatan, keyakinan,
ritual dan etika yang ada dalam ajaran keduanya.
Sementara para
ahli dibidang sosiologi dan antropologi cenderung mendefinisikan agama dari sudut fungsi
sosialnya--yaitu suatu sistem kehidupan yang mengikat manusia dalam suatu
satuan-satuan atau kelompok –kelompok sosial. Sedangkan kebanyakan pakar
teologi, fenomenologi dan sejarah agama melihat agama dari aspek
substansinya yang sangat asasi--yaitu suatu yang sakral (the secred).
Sebenarnya ketiga pendekatan di atas tidaklah bertentangan, melainkan saling
melengkapi, dari uraian di atas, definisi agama yang paling tepat adalah yang
mencakup semua jenis agama, kepercayaan, sekte maupun berbagai jenis ideologi
modern seperti komunisme, humanisme, sekuralisme, nasionalisme dan
lainnya. Dan jika “pluralisme” dirangkai
dengan “agama” sebagai predikatnya, maka berdasarkan pemahaman tersebut di atas
bisa dikatakan bahwa “pluralisme agama” adalah kondisi hidup bersama
(koeksistensi) antar umat beragama (dalam arti luas) yang berbeda-beda dalam
satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran
masing-masing agama. [3]
Dalam konteks menghadapai kemjemukan agama dan keyakinan,
para sarjana, terutama dari kalangan Kristen, telah sejak lama merumuskan
tipologi respons para pemeluk agama. Beberapa model yang paling terkenal
diantaranya adalah: eklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme. Pertama, eklusivisme, yaitu pandangan
dari keyakinan kelompok bahwa hanya agama/keyakinan mereka saja yang membawa
keselamatan dan kebahagiaan, sementara agama lain tidak. Kedua, inklusivisme,
yaitu pandangan yang meyakini, mengakui dan merayakan kehadiran tuhan yang
menyatakan diri pada banyak agama dan menyelamatkan para pemeluknya sepanjang
sejarah. Namun kelompok ini tetap meyakini bahwa agamanya yang paling sempurna
diantara agama lainnya. Ketiga, pluralism, yaitu keyakinan seseorang
atau kelompok keagamaan bahwa segenap agama-agama dan keyakinan adalah
jalan-jalan keselamatan (menuju Tuhan) yang sama-sama abash. [4]
John Cobb, seorang teolog kenamaan dari Harford Seminary,
Amerika, menambahkan dengan istilah “teologi transformatif” yang di nilainya
merupakan penyempurnaan dari teologi pluralis.
Lebih jauh lagi, penganut satu agama harus mampu melakukan transformatif
diri dengan sikap terbuka untuk belajar dan menggali kearifan pada agama dan
tradisi lain. Ninian Samrt, Komaruddin
Hidayat menyebut 5 tepologi respons. Hans Kung, Paul Knitter 4 tipologi 371-372.
B.
Sejarah Perkembangan Pluralisme Agama
Pemikiran pluralisme agama
muncul pada masa yang di sebut Pencerahan (Enlightenment) Eropa,
tepatnya pada abad ke-18 Masehi, masa yang sering disebut sebagai titik
permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Yaitu masa yang diwarnai dengan
wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada
suprerioritas akal (rasionalisme) dan pembesanan akal dari
kungkungan-kungkungan agama. Di tengah pergolakan pemikiran di Eropa sebagai
konsekuensi logis dari konflik-konflik yang terjadi antara gereja dan diluar
gereja,muncullah paham yang dikenal dengan “liberalisme” yang berkomposisi
utamanya adalah kebebasan, toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme.
Meskipun angin pluralisme
sudah mulai mewarnai pemikiran Eropa pada saat itu, namun itu belum mengakar
kuat dalam kultur masyarakatnya. Ternyata masih ada beberapa sekte Kristen yang
mengalami perlakuan diskriminatif dari gereja, contohnya yaitu sekte Mormon
yang tetap tidak diakui oleh gereja karena dianggap gerakan heterodox. Begitu
juga, doktrin “diluar gereja tidak ada keselamatan” yang tetap dipegang teguh
oleh Gereja Katolik, hingga dilangsungkan Konsili Vatikan II pada permulaan
tahun 60-an abad ke-20 yang mendeklarasikan doktrin “keselamatan umum” bahkan
bagi agama-agama selain Kristen.
Dalam kasus di atas dapat disimpulkan bahwa
gagasan pluralisme agama sebenarnya merupaka upaya peletakan landasan teoritis
dalam teologi Kristen untuk berintraksi secara toleran dengan agama lain.
C.
Sebab-sebab Timbulnya Teori Pluralisme Agama
Sebab-sebab lahirnya teori pluralisme agama secara umum dapat diklasifikasikan pada
dua faktor utama yaitu faktor internal (Ideologis) dan faktor
eksternal, yang mana antara satu
faktor dengan faktor yang lainnya saling mempengaruhi dan saling berhubungan
erat:
1.
Faktor
Internal (Ideologis) merupakan faktor yang tombul akibat tuntutan akan
kebenaran mutlak (absolute truth-claims) dari agama itu sendiri, baik
dalam masalah aqidah,(Ketuhanan, Keterpilihan, Pembebasan dan Keselamatan ),
konflik-konflik sejarah (agama-agama Semitik yaitu Islam, Yahudi dan Kristen
tentang kisah penyaliban Isa al-Masih a.s)
2.
Faktor Eksternal yang timbul dari luar dapat
diklasifikasikan ke dalam dua hal, yaitu faktor sosio-politis dan faktor
ilmiah.
a.
Faktor
sosio-politis adalah dikrenakan berkembangnya wacana-wacana sosio-politis,
demokrasi, dan nasionalisme yang telah melhirkan sistem negara-bangsa (nation-state),
dan kemudia mengarah pada apa yang dewasa ini dikenal dengan “globalisasi’,
yang merupakan hasil praktis dari sebuah proses sosial-politis yang berlangsung
selama kurang lenih tiga abad.
b.
Faktor
Keilmuan: Gerakan Kajian-Kajian “Ilmiah” Modern terhadap agama-agama dunia,
atau yang sering juga di kenal dengan studi perbandingan agama
(religionswissenschaft).
D.
Dialog
Antar Umat Beragama
Di dalam kehidupan ini. Kita
manusia tidaklah dapat lepas dari interaksi dengan yang ada disekitar kita.
Demikian juga kaum beragama tidaklah semerta ia hidup sendirian. Ada umat
beragama lain yang di luar dirinya. Sering terjadi kesalahpahaman dan juga konflik-konflik
yang sampai-sampai menimbulkan pertumpahan darah. Untuk mencegah hal itu
terjadi maka perlu di adakannya interaksi/dialog mutualisme dalam rangka
menyelesaikan konflik tersebut. Karena itu dengan berdialog, menurut Knitter,
umat dari berbagai tradisi agama semakin sadar bahwa untuk memahami dan
menghayati kehidupan iman mereka dalam
dunia saat ini, mereka harus berdialog dengan para penganut agama lain maupun
dengan mereka yang menderita di bumi ini. [5]
Karena dialog sama sekali tidak mnegurangi rasa kesetiaan yang utuh dan jujur
dalam imannya sendiri, melainkan memperkaya dan memperkuatnya. Kenyataan
ini sudah disaksikan oleh banyak orang.
Dialog
sama sekali bukan suatu percobaan bagi sinkretisme. Dialog justru dapat
dijadikan kekuatan melawannya karena diadalam dialog kita mengenal kepercayaan
ornag lain sedalam-dalamnya. Kepercayaan kita sendiri dengan demikian diuji,
diperluas dan diperkuat. Percobaan yang sebenarnya bagi iman terletakdalam
hubungan iman itu keluar.
Dialog
adalah kegiatan kreatif bersama yang membebaskan seseorang sistemya yang tertutup dan kaku, yang
kebetulan ia ditempatkan berdasarkan kelahirannya. Dialog meningkatkan
kebebasan spiritual dan memberikan gambaran tentang dimensi kehidupan rohani
yang lebih luas ketika seseornag mampu berpartisipasi dalam spiritualitas orang
lain.
Dialog
adalah suatu hal yang asasi dalam mengubah sikap negative kita terhadap
orang-ornag beragam lain, sikpa yang membuat kesaksian kita tidak berdaya dan
tidak bermakna. Suatu sikap negative yang mengundang reaksi penolakan. Jika
kita tidak bersedia menerima ornag lain dengan kasih, maka mereka pun akan
menolak kita. Agama Kristen sering ditolak karena ia sendiri menolak
agama-agama lain. Jika kita tidak bersedia mendengarkan orang lain maka mereka
juga tidak mau mendengarkan kita. Dalam keadaan sedemikian, pemberitaan Injil
yang hakiki tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu, dialog adalah suatu hal
asasi dalam menghilangkan salah paham dan prasangka yang pernah timbul di masa
lalu, atau yang disebabkan oleh sikap penolakan terhadap agama-agama dan
aliran-aliran kepercayaan lain. Dialog seharusnya menciptkan suatu suasana
sehat yang di dalamnya kita dapat saling member dan menerima, mendengar dan
memberitakan. Dialog menjadi suatu yang asasi bagi kita dalam proses menemukan
‘wajah Asia’ Kristus sebagai hamba yang menderita, sehingga Gereja sendiri
dapat dibebaskan dari kecenderungan hanya memperhatikan dirinya sendiri yang
sudah begitu terlembagakan dan agar Gereja dapat memainkan peran seorang hamba
dalam membangun persekutuan-persekutuan dalam kasih Allah atau Kerajaan Allah. [6]
Definisi
agama yang paling tepat. Yang paling tepat?
Kenapa di
dunia barat menyalahkan pada agama yang lain?
Daftar
Pustaka
Thoha, Anis
Malik, 2005, TREN PLURALISME AGAMA, Jakarta: Perspektif
Schuman ,H.
Olaf, 2008, Dialog antarumat
beragama, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia
Bahri ,Media Zainul, 2011, Satu
Tuhan Banyak Agama,
Jakarta: Mizan Publika
[1]
Dr. Anis Malik Thoha, TREN PLURALISME AGAMA, cet.ke-1 (Jakarta:
Perspektif: 2005), hal. 12
[2]
Pendekatan ini adalah yang dikenal
luas di Barat. Namun Dr. M. ‘Abdullah Darraz mempunyai pendapat lain.
Menurutnya agama dapat didefinisikan dari dua aspek:pertama,sebgai
keadaan psikologis (etat subjectif), yakni: relijuisitas;dengan demikian agama
adalah kepercayaan atau keimanan kepada Zat yang bersifat ketuhanan yang patut
ditaati dan disembah. Kedua sebagai hakikat eksternal (fait object),
bahwa agama adalah
seperangkat panduan teoritis yang mengajarkan konsepsi ketuhanan dan
seperangkat aturan praktis yang mengatur aspek ritualnya.
[4] Media Zainul Bahri, Satu Tuhan Banyak
Agama, (Jakarta: Mizan Publika, 2011), hal.369-370
[5] Media Zainul Bahri, Satu Tuhan Banyak
Agama, (Jakarta: Mizan Publika, 2011), hal. 390-391
[6] H. Olaf Schuman, Dialog antarumat
beragama, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2008),hal. 27-28
sangat bermanfaat ne artikel.. makash gan atas bantuannya.. lanjutkan... janga lupa sering2 baca sabda hairus saleh..
BalasHapushahah.. iya juragan sateeee,,,,
BalasHapus