Senin, 12 November 2012

Filosofi Perang Obar dan Lomban Jepara


A.   
GEOGRAFI 

Kabupaten Jepara, adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah Jepara. Kabupaten ini berbatasan dengan Laut Jawa di barat dan utara, Kabupaten Pati dan Kabupaten Kudus di timur, serta Kabupaten Demak di selatan. Wilayah Kabupaten Jepara juga meliputi Kepulauan Karimunjawa, yang berada di Laut Jawa.
Kabupaten Jepara terletak di pantura timur Jawa Tengah, dimana bagian barat dan utara dibatasi oleh laut. Bagian timur wilayah kabupaten ini merupakan daerah pegunungan.           
Wilayah Kabupaten Jepara juga meliputi Kepulauan Karimunjawa, yakni gugusan pulau-pulau di Laut Jawa. Dua pulau terbesarnya adalah Pulau Karimunjawa dan Pulau Kemujan. Sebagian besar wilayah Karimunjawa dilindungi dalam Cagar Alam Laut Karimunjawa. Penyeberangan ke kepulauan ini dilayani oleh kapal ferry yang bertolak dari Pelabuhan Jepara. Karimunjawa juga terdapat lapangan terbang perintis yang didarati pesawat berjenis kecil dari Semarang.
B.     SEJARAH JEPARA
Jauh sebelum adanya kerajaan-kerajaan ditanah jawa. Diujung sebelah utara pulau Jawa sudah ada sekelompok penduduk yang diyakini orang-orang itu berasal dari daerah Yunnan Selatan yang kala itu melakukan migrasi ke arah selatan. Jepara saat itu masih terpisah oleh selat Juwana.
Asal nama Jepara berasal dari perkataan Ujung Para, Ujung Mara dan Jumpara yang kemudian menjadi Jepara, yang berarti sebuah tempat pemukiman para pedagang yang berniaga ke berbagai daerah. Menurut buku “Sejarah Baru Dinasti Tang (618-906 M)” mencatat bahwa pada tahun 674 M seorang musafir Tionghoa bernama I-Tsing pernah mengunjungi negeri Holing atau Kaling atau Kalingga yang juga disebut Jawa atau Japa dan diyakini berlokasi di Keling, kawasan timur Jepara sekarang ini, serta dipimpin oleh seorang raja wanita bernama Ratu Shima yang dikenal sangat tegas.
Menurut seorang penulis Portugis bernama Tome Pires dalam bukunya “Suma Oriental”, Jepara baru dikenal pada abad ke-XV (1470 M) sebagai bandar perdagangan yang kecil yang baru dihuni oleh 90-100 orang dan dipimpin oleh Aryo Timur dan berada dibawah pemerintahan Demak. Kemudian Aryo Timur digantikan oleh putranya yang bernama Pati Unus (1507-1521). Pati Unus mencoba untuk membangun Jepara menjadi kota niaga.
Pati Unus dikenal sangat gigih melawan penjajahan Portugis di Malaka yang menjadi mata rantai perdagangan nusantara. Setelah Pati Unus wafat digantikan oleh ipar Faletehan /Fatahillah yang berkuasa (1521-1536). Kemudian pada tahun 1536 oleh penguasa Demak yaitu Sultan Trenggono, Jepara diserahkan kepada anak dan menantunya yaitu Ratu Retno Kencono dan Pangeran Hadirin, suaminya. Namun setelah tewasnya Sultan Trenggono dalam Ekspedisi Militer di Panarukan Jawa Timur pada tahun 1546, timbulnya geger perebutan tahta kerajaan Demak yang berakhir dengan tewasnya Pangeran Hadirin oleh Aryo Penangsang pada tahun 1549.
Kematian orang-orang yang dikasihi membuat Ratu Retno Kencono sangat berduka dan meninggalkan kehidupan istana untuk bertapa di bukit Danaraja. Setelah terbunuhnya Aryo Penangsang oleh Sutowijoyo, Ratu Retno Kencono bersedia turun dari pertapaan dan dilantik menjadi penguasa Jepara dengan gelar NIMAS RATU KALINYAMAT. Pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat (1549-1579), Jepara berkembang pesat menjadi Bandar Niaga utama di Pulau Jawa, yang melayani eksport import. Disamping itu juga menjadi Pangkalan Angkatan Laut yang telah dirintis sejak masa Kerajaan Demak.
Sebagai seorang penguasa Jepara, yang gemah ripah loh jinawi karena keberadaan Jepara kala itu sebagai Bandar Niaga yang ramai, Ratu Kalinyamat dikenal mempunyai jiwa patriotisme anti penjajahan. Hal ini dibuktikan dengan pengiriman armada perangnya ke Malaka guna menggempur Portugis pada tahun 1551 dan tahun 1574. Adalah tidak berlebihan jika orang Portugis saat itu menyebut sang Ratu sebagai RAINHA DE JEPARA”SENORA DE RICA, yang artinya Raja Jepara seorang wanita yang sangat berkuasa dan kaya raya.
Serangan sang Ratu yang gagah berani ini melibatkan hampir 40 buah kapal yang berisikan lebih kurang 5.000 orang prajurit. Namun serangan ini gagal, ketika prajurit Kalinyamat ini melakukan serangan darat dalam upaya mengepung benteng pertahanan Portugis di Malaka, tentara Portugis dengan persenjataan lengkap berhasil mematahkan kepungan tentara Kalinyamat. Namun semangat Patriotisme sang Ratu tidak pernah luntur dan gentar menghadapi penjajah bangsa Portugis, yang di abad 16 itu sedang dalam puncak kejayaan dan diakui sebagai bangsa pemberani di Dunia.
Dua puluh empat tahun kemudian atau tepatnya Oktober 1574, sang Ratu Kalinyamat mengirimkan armada militernya yang lebih besar di Malaka. Ekspedisi militer kedua ini melibatkan 300 buah kapal diantaranya 80 buah kapal jung besar berawak 15.000 orang prajurit pilihan. Pengiriman armada militer kedua ini di pimpin oleh panglima terpenting dalam kerajaan yang disebut orang Portugis sebagai “QUILIMO”. Walaupun akhirnya perang kedua ini yang berlangsung berbulan-bulan tentara Kalinyamat juga tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka, namun telah membuat Portugis takut dan jera berhadapan dengan Raja Jepara ini, terbukti dengan bebasnya Pulau Jawa dari Penjajahan Portugis di abad 16 itu.
Sebagai peninggalan sejarah dari perang besar antara Jepara dan Portugis, sampai sekarang masih terdapat di Malaka komplek kuburan yang di sebut sebagai Makam Tentara Jawa. Selain itu tokoh Ratu Kalinyamat ini juga sangat berjasa dalam membudayakan SENI UKIR yang sekarang ini jadi andalan utama ekonomi Jepara yaitu perpaduan seni ukir Majapahit dengan seni ukir Patih Badarduwung yang berasal dari Negeri Cina.
Menurut catatan sejarah Ratu Kalinyamat wafat pada tahun 1579 dan dimakamkan di desa Mantingan Jepara, di sebelah makam suaminya Pangeran Hadirin. Mengacu pada semua aspek positif yang telah dibuktikan oleh Ratu Kalinyamat sehingga Jepara menjadi negeri yang makmur, kuat dan mashur maka penetapan Hari Jadi Jepara yang mengambil waktu beliau din obatkan sebagai penguasa Jepara atau yang bertepatan dengan tanggal 10 April 1549 ini telah ditandai dengan Candra Sengkala TRUS KARYA TATANING BUMI atau “terus bekerja keras membangun daerah”. Untuk Tahun 2010 ini, Jepara telah mendapatkan sertifikasi Indikasi Geografis terhadap produk Ukirnya yang sangat khas.[1]
C.    BAHASA, dan MATA PENCAHARIAN 

Masyarakat Jepara sama dengan bahasa suku Jawa Tengah yaitu menggunakan bahasa jawa. Dialek yang di gunakan yaitu “O”.
Wilayah Jepara terbagi kedua bagian, di sebelah Utara adalah daerah Pantai yang mana penduduknya sebagian besar mata pencahariannya adalah nelayan. Sedangkan bagian Timur daerah pegunungan yaitu masayarakatnya kebanyakan petani.

D.    AGAMA DAN KEPERCAYAAN
Agama Islam maju pesat di kalangan orang Jepara. Sebagian dusun mempunyai masjid, tetapi kepercayaan terhadap mitos-mitos dan nenek moyang masih kental. Hal ini mendorong mereka mengkeramatkan kuburan-kuburan nenek moyang. Maysarakat Jepara percaya bahwa pohon-pohon tertentu, seperti pohon bringin adalah tempat bersemayam makhluk-makhluk halus.
Agama di Jepara tidaklah agam Islam saja, ada Kristen, dan Budha, tetapi sangat minoritas. Mayoritas penduduknya Islam.

E.     SENI BUDAYA DI JEPARA
Di kabupaten Jepara terdapat berbagai jenis kesenian, yaitu:Tari Kridhajati, Tari Tayub, Tari Emprak, Samroh, Gambus, Angguk, Dagelan, Kentrung, Ludruk, Ketropak, Keroncong, Prasah, Perang Obor, Lomban.[2] Jenis kesenian tradisional Samroh, Gambus, dan Angguk, semuanya bernafaskan Islam. Jenis kesenian tradisional lainnya adalah dagelan, emprak, ketropak, ludruk, kentrung, keroncong,dan prasah. Melalui beberapa kesenian tradisional ini, pemerintah menggunakannya untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat misalnya mengenai pembangunan dan keluarga berencana.
1.      LEGENDA SENI UKIR JEPARA

Dikisahkan seorang ahli seni pahat dan lukis bernama Prabangkara yang hidup pada masa Prabu Brawijaya dari Kerajaan Majapahit, pada suatu ketika sang raja menyuruh Prabangkara untuk membuat lukisan permaisuri raja sebagai ungkapan rasa cinta beliau pada permaisurinya yang sangat cantik dan mempesona.
Lukisan permaisuri yang tanpa busana itu dapat diselesaikan oleh Prabangkara dengan sempurna dan tentu saja hal ini membuat Raja Brawijaya menjadi curiga karena pada bagian tubuh tertentu dan rahasia terdapat tanda alami/khusus yang terdapat pula pada lukisan serta tempatnya/posisi dan bentuknya persis. Dengan suatu tipu muslihat, Prabangkara dengan segala peralatannya dibuang dengan cara diikat pada sebuah laying-layang yang setelah sampai di angkasa diputus talinya.[3]
Dalam keadaan melayang-layang inilah pahat Prabangkara jatuh di suatu desa yang dikenal dengan nama Belakang Gunung di dekat kota Jepara. Di desa kecil sebelah utara kota Jepara tersebut sampai sekarang memang banyak terdapat pengrajin ukir yang berkualitas tinggi. Namun asal mula adanya ukiran disini apakah memang betul disebabkan karena jatuhnya pahat Prabangkara, belum ada data sejarah yang mendukungnya.

Sejarah
1.      Pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat, terdapat seorang patih bernama Sungging Badarduwung yang berasal dari Campa (Kamboja) ternyata seorang ahli memahat pula. Sampai kini hasil karya Patih tersebut masih bisa dilihat di komplek Masjid Kuno dan Makam Ratu Kalinyamat yang dibangun pada abad XVI.
  1. Keruntuhan Kerajaan Majapahit telah menyebabkan tersebarnya para ahli dan seniman hindu ke berbagai wilayah paruh pertama abad XVI. Di dalam pengembangannya, seniman-seniman tersebut tetap mengembangkan keahliannya dengan menyesuaikan identitas di daerah baru tersebut sehingga timbulah macam-macam motif kedaerahan seperti : Motif Majapahit, Bali, Mataram, Pajajaran, dan Jepara yang berkembang di Jepara hingga kini.
Bentuk dan Motif Ukiran Jepara
Ukiran Jepara mempunyai ciri khas yang menunjukkan bahwa ukiran itu asli dari Jepara atau tidak. Salah satu ciri khasnya yaitu bentuk corak dan motif. Daun Trubusan yang terdiri dari 2 macam yaitu dilihat dari yang keluar dari tangkai relung dan yang keluar dari cabang atau ruasnya. Ukiran asli Jepara juga terlihat dari motif Jumbai atau ujung relung dimana daunnya seperti kipas yang sedang terbuka yang pada ujung daun tersebut meruncing dan juga ada buah 3 buah atau 4 biji keluar dari pangkal daun.
Selain itu, tangkai relungnya memutar dengan gaya memanjang dan menjalar membentuk cabang-cabang kecil yang mengisi ruang atau memperindah. Ragam hias ukiran yang ada pada dinding Masjid Mantingan menggambarkan stiliran makhluk hidup dengan penampakan dalam bentuk garis dan daun dan itu menandakan adanya pengaruh budaya Islam pada ragam hias seni ukir tersebut .
Mengingat sebelumnya, ragam hias yang berkembang banyak dipengaruhi oleh inspirasi dari kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan, sedangkan di dalam ajaran Islam ada larangan untuk melukis makhluk hidup dan binatang. Untuk mengantisipasi dari aturan tersebut, tampaknya para seniman tetap perlu melakukan aktivitas untuk menuangkan gagasan makhluk hidup, namun secara tersembunyi dan tidak tampak dengan jelas. Misalnya hiasan ukir seekor binatang dan diwujudkan dalam jalinan garis dan daun, kesan-kesan bentuk alam yang realistis diolah dalam bentuk yang ornamentik dan dekoratif namun masih tetap menampilkan keindahan.
2.      SEJARAH PERANG OBOR         
Masyarakat Jepara adalah masyarakat yang juga kaya akan tradisi. Hal ini terutama yang menyangkut dengan tradisi masa lampau. Tradisi-tradisi masa lampau ini sebagiannya masih dipertahankan sebagai sejarah untuk mengenang persitiwanya dan mengambil spirit nilainya yang masih relefan dengan era sekarang. Salah satu tradisi masyarakat Jepara yang masih terus dipertahankan adalah upacara Perang Obor. Upacara Perang Obor ini diadakan setiap tahun sekali di desa Tegal Sambi, kecamatan Tahunan kebaupaten Jepara Jawa Tengah. Hal ini atas dasar kepercayaan masyarakat setempat terhadap peristiwa atau kejadian pada masa lampau yang terjadi di desa tersebut.
Upacara tradisional “Obor –oboran”(begitulah sebagian orang menyebut) adalah perang yang bersenjatakan obor. Ini termasuk tradisi unik dan penuh tantangan yang ada di Jepara, Jawa Tengah dan mungkin di seluruh Indonesia. Obor yang digunakan sebagai senjata ini terbuat dari gulungan atau bendelan 2 (dua) atau 3 (tiga) pelepah kelapa yang sudah kering dan bagian dalamnya diisi dengan daun pisang kering (jawa : Klaras ). Pola dan aturan mainnya pun cukup menghidupkan adrenalin. Karena seorang pemain harus berhadapan dengan api yang menjilat-jilat. Obor yang telah tersedia tersebut dinyalakan dengan api yang alat untuk saling menyerang ehingga sering terjadi benturan–benturan obor yang dapat mengakibatkan pijaran–pijaran api yang besar, yang akhirnya masyarakat menyebutnya dengan istilah “ Perang Obor “.
Nilai-nilai yang terkandung di dalam perang obor di antara yaitu:
a.                Belajar Pada Sejarah
Peristiwa prang obor ini, secara umum, merupakan penegasan terhadap pentingnya makna sebuah sejarah. Manusia tak mungkin bisa menyambung rantai kehidupannya tanpa unsur sejarah. Ini menandakan bahwa betapa pentingnya sebuah sejarah.
Bahkan sebuah pepatah Yunani kuno mengatakan bahwa sejarah adalah guru kehidupan. Dengan ini menandakan bahwa sejarah bukanlah cerita masa lampau, tetapi juga pelajaran bagi umat manusia. Di dalamnya ada berbagai peristiwa yang maknanya akan selalu aktual untuk era sekarang dan yang akan datang. Bahkan untuk menapaki kehidupan masa kini, seseorang dituntutuntukmengetahuijejak-jejakperistiwamasalampau.
Maka benar apa yang dikatakan oleh Nietzsche bahwa manusia hidup membutuhkan sejarah. Sebab, untuk hidup saat ini secara sehat, manusia membutuhkan pengetahuan masa lalu. Dalam konteks ini, sejarah menawarkan berbagai contoh peristiwa yang bisa menjadi pelajaran (i’tibar) untuk membangun peradaban manusia sekarang dan selanjutnya.Maka orang yang kehilangan sjarah sama halnya kehilangan obor khidupan. Karena ia tidak lagi mempunyai nilai yang bisa dijadikanacuanataupedomanuntk kehidupannya. Dalam tradisi Perang obor tersebut tentu banyak dimensi yang bisa dijadikan sebagai pelajaran. Sebagai bagian dari kebudayaan tentu ia  juga mengandung nilai logika,  etika dan  estetika. Selain aspek spiritual, ia juga penuh dengan aspek moral.
b.               Pelajaran tentang tanggung jawab
Berdasarkan cerita di atas di antara semangat moral yang bisa kita petik dari peristiwa perang obor ini adalah etos tanggung jawab.  Tanggung Jawab adalah sikap moral yang penting kita tumbuhkan untuk membuat kehidupan kita ini berjalan baik. Hal ini terutama yang berhubungan dengan pelaksanaan sebuah amanah. Silang sengkarutnya kehidupan kita baik dalam konteks rumh tangga, bangsa dan negara adalah karena terjadinya krisis tanggung jawab.
Sikap tanggung Jawab adalah sikap seorang satria. Lawan dari sikap ini adalah  pengecut atau pecundang yakni sikap yang suka melarikan diri dari tanggung jawab atau melempar tanggng jawab. Khususnya dalam kehidupan politk kita, kalau kita mencermati, betapa sulitnya mencari orang yang benar-benar mempunyai sikap tanggung jawab. Betapa sulitnya menemukan seorang satria. Yang banyak kita temukan adalah jutru para pengecut, pecundang dan bahkan pengkhianat.
Hal ini terbukti dengan banyaknya pristiwa yang menyesakkan dada dalam pentas perpolitikan kita. Lihat saja kasus Lapindo yang tak jelas,  maraknya mafia peradilan, tumbuh suburnya praktik KKN di jajaran eksekutif maupun legislatif, meningkatnya kemiskinan struktural dan sebagainya. Semua itu adalah cermin dari sikap tidak tanggung jawab para elit dalam mengurus negara. Mereka telah menyia-nyiakan amanah rakyat. Mereka bukannya bekerja melayani dan membela kepentingan rakyat, tetapi justru menjadi budak kapitalisme-neoliberal. Seluruh kebijakan yang diciptakan bukan untuk memperjuangkn rakyat, tetapi untuk membuka pintu selebar-lebarnya para cukong –cukong kapitalisme untuk menjajah dan menguasai aset-aset negara.
Maka melalui perang obor ini kita juga didorong untuk menjadi oposisi-kritis terhadap pemerintah. Ketika rakyat memberi amanah kepada pemerintah untuk mengembala, namun kenyataannya mereka malah sibuk mencari ikan secara illegal hingga mengakibatkan banyak penyakit sosial seperti kemiskinan, pengangguran, kelaparan dan keterbelakangan, maka sekarang saatnyalah rakyat bangkit mengobarkan api perlawanan.
3.      UPACARA TRADISIONAL SEDEKAH LAUT (LOMBAN)
Upacara tradisional sedekah laut atau sering disebut juga dengan pesta lomban merupakan upacara tradisional yang diselenggarakan masyarakat Jepara khususnya yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Tradisi ini pada mulanya dipelihara dan dilaksanakan oleh masyarakat nelayan di sekitar Desa Ujung Batu, namun dalam perkembangannya tradisi ini telah menjadi milik masyarakat Jepara pada umumnya. Dari waktu penyelenggaraan dapat dikemukakan, bahwa tradisi ini merupakan puncak dan sekaligus penutup acara Syawalan yang diselenggarakan seminggu setelah Hari Raya Idul Fitri.
Menurut sejarahnya dari penjelasan sesepuh desa, tradisi sedekah laut ini pada mulanya merupakan kebiasaan kegiatan selamatan oleh kelompok nelayan yang ada di sekitar Kali Wiso Ujung Batu Jepara. Adapun tujuan penyelenggaraan upacara tradisi terebut sebagai ungkapan syukur dan pengharapan/permohonan pada sang “penguasa” yang “mbaurekso” laut karena mereka merasa telah mendapatkan sumber kehidupan yang berasal dari laut, dan merasa kehidupannya bergantung pada laut. Upacara tradisi ini lama kelamaan berkembang dan banyak diikuti oleh masyarakat di sekitarnya.
Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi lomban yaitu:
a. Bagi masyarakat sekarang ini, lomban ucapan syukur terhadap Tuhan YME meskipun di satu sisi sebagai pelestarian budaya lama dengan mengaitkan rasa syukur tersebut yang mbaurekso laut, karena setahun penuh telah memberikan penghidupan kepada masyarakat nelayan sekaligus pengharapan agar tahun berikutnya hasil yang di peroleh mengalami peningkatan. Bahkan ada kepercayaan bahwa kalau tradisi ini di tiadakan maka akan timbul bencana yang besar di Jepara khusunya, yang akan menimpa masyarakat nelayan.
b.Perang ketupat yang menyertai upacara tradisional sedekah laut tersebut memiliki makna simbolik, yaitu menggambarkan situasi masa lalu ketika Ratu Kalinyamat (penguasa Jepara yang melegenda ) mengadakan ekspedisi ke Malaka dan di hadang oleh bajak laut hingga terjadi peperangan. Dalam antraksi tersebut digambarkan bahwa lempar-melempar ketupat dalam masyarakat nelayan menggambarkan serangan bajak laut terhadap Bupati yang digambarkan sebagai perahu Ratu Kalinyamat.[4]
c. Sesuai dengan rangkaian kegiatan lomban tersebut, dengan rangkaian kegiatan lomban tersebut, tampak bahwa tradisi ini dipelihara masyarakat dan mempunyai keterkaitan dengan unsur keberanian Ratu Kalinyamat dalam berperang, terutama mengusir penjajah. Peran inilah yang mempunyai keterkaitan dengan fungsi Jepara sebagai kota pelabuhan.

DAFTAR PUSTAKA
Dinas Pariwisata Jepara. 2007. Sejarah dan Budaya, Legenda Obyek-obyek Wisata Jepara. Jepara: Cetakan (t.p)
Pemerintah Kabupaten Dati II Jepara. 1979. Risalah dan Kumpulan Data Tentang Perkembangan Seni Ukir Jepara. Cet. t.p.
Jurnal Sejarah CITRA LEKHA, Vol. XV, No. 1 Februari 2011: 43-59 oleh Sri Indrahti & Yety Rochwulaningsih Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang



[1] www.wikipedia.com
[2] Dinas Pariwisata Jepara. 2007. Sejarah dan Budaya, Legenda Obyek-obyek Wisata Jepara. Jepara: Cetakan (t.p). Hlm. 33.
[3] Pemerintah Kabupaten Dati II Jepara. 1979. Risalah dan Kumpulan Data Tentang Perkembangan Seni Ukir Jepara. Cet. t.p. Hlm. 43-45.
[4] Jurnal Sejarah CITRA LEKHA, Vol. XV, No. 1 Februari 2011: 43-59 oleh Sri Indrahti & Yety Rochwulaningsih Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar