A. GEOGRAFI
Kabupaten
Jepara, adalah salah satu kabupaten
di Provinsi
Jawa Tengah.
Ibukotanya adalah Jepara. Kabupaten ini berbatasan dengan Laut Jawa
di barat dan utara, Kabupaten Pati dan Kabupaten Kudus
di timur, serta Kabupaten Demak di selatan. Wilayah
Kabupaten Jepara juga meliputi Kepulauan Karimunjawa, yang berada di Laut
Jawa.
Kabupaten Jepara terletak di
pantura timur Jawa Tengah, dimana bagian barat dan utara dibatasi oleh laut.
Bagian timur wilayah kabupaten ini merupakan daerah pegunungan.
Wilayah Kabupaten Jepara juga
meliputi Kepulauan Karimunjawa, yakni gugusan pulau-pulau di Laut Jawa.
Dua pulau terbesarnya adalah Pulau Karimunjawa dan Pulau Kemujan. Sebagian
besar wilayah Karimunjawa dilindungi dalam Cagar Alam Laut Karimunjawa.
Penyeberangan ke kepulauan ini dilayani oleh kapal ferry yang bertolak dari
Pelabuhan Jepara. Karimunjawa juga terdapat lapangan terbang perintis yang
didarati pesawat berjenis kecil dari Semarang.
B.
SEJARAH JEPARA
Jauh
sebelum adanya kerajaan-kerajaan ditanah jawa. Diujung sebelah utara pulau Jawa
sudah ada sekelompok penduduk yang diyakini orang-orang itu berasal dari daerah
Yunnan Selatan yang kala itu melakukan migrasi ke arah selatan. Jepara saat itu
masih terpisah oleh selat Juwana.
Asal
nama Jepara berasal dari perkataan Ujung
Para, Ujung Mara dan Jumpara yang kemudian menjadi Jepara, yang berarti sebuah tempat pemukiman para pedagang yang
berniaga ke berbagai daerah. Menurut buku “Sejarah Baru Dinasti Tang
(618-906 M)” mencatat bahwa pada tahun 674 M seorang musafir Tionghoa bernama
I-Tsing pernah mengunjungi negeri Holing atau Kaling atau Kalingga
yang juga disebut Jawa
atau Japa dan diyakini berlokasi di Keling, kawasan timur Jepara sekarang ini,
serta dipimpin oleh seorang raja wanita bernama Ratu Shima yang dikenal sangat
tegas.
Menurut
seorang penulis Portugis bernama Tome Pires dalam bukunya “Suma Oriental”,
Jepara baru dikenal pada abad ke-XV (1470 M) sebagai bandar perdagangan yang
kecil yang baru dihuni oleh 90-100 orang dan dipimpin oleh Aryo Timur dan
berada dibawah pemerintahan Demak. Kemudian Aryo Timur digantikan oleh putranya
yang bernama Pati Unus (1507-1521). Pati
Unus mencoba untuk membangun Jepara menjadi kota niaga.
Pati
Unus dikenal sangat gigih melawan penjajahan Portugis di Malaka yang menjadi
mata rantai perdagangan nusantara. Setelah Pati Unus wafat digantikan oleh ipar
Faletehan
/Fatahillah yang berkuasa (1521-1536). Kemudian pada tahun 1536 oleh penguasa
Demak yaitu Sultan Trenggono, Jepara diserahkan
kepada anak dan menantunya yaitu Ratu Retno Kencono dan Pangeran Hadirin,
suaminya. Namun setelah tewasnya Sultan Trenggono dalam Ekspedisi Militer di
Panarukan Jawa Timur pada tahun 1546, timbulnya geger perebutan tahta kerajaan
Demak yang berakhir dengan tewasnya Pangeran Hadirin oleh Aryo Penangsang
pada tahun 1549.
Kematian
orang-orang yang dikasihi membuat Ratu Retno Kencono sangat berduka dan
meninggalkan kehidupan istana untuk bertapa di bukit Danaraja. Setelah
terbunuhnya Aryo Penangsang oleh Sutowijoyo, Ratu Retno Kencono bersedia turun
dari pertapaan dan dilantik menjadi penguasa Jepara dengan gelar NIMAS RATU
KALINYAMAT. Pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat (1549-1579), Jepara
berkembang pesat menjadi Bandar Niaga utama di Pulau Jawa,
yang melayani eksport import. Disamping itu juga menjadi Pangkalan Angkatan
Laut yang telah dirintis sejak masa Kerajaan Demak.
Sebagai
seorang penguasa Jepara, yang gemah ripah loh jinawi karena keberadaan Jepara
kala itu sebagai Bandar Niaga yang ramai, Ratu Kalinyamat dikenal mempunyai
jiwa patriotisme anti penjajahan. Hal ini dibuktikan dengan pengiriman armada
perangnya ke Malaka
guna menggempur Portugis pada tahun 1551 dan tahun 1574. Adalah tidak
berlebihan jika orang Portugis saat itu menyebut sang Ratu sebagai RAINHA DE
JEPARA”SENORA DE RICA, yang artinya Raja Jepara seorang wanita yang sangat
berkuasa dan kaya raya.
Serangan
sang Ratu yang gagah berani ini melibatkan hampir 40 buah kapal yang berisikan
lebih kurang 5.000 orang prajurit. Namun serangan ini gagal, ketika prajurit
Kalinyamat ini melakukan serangan darat dalam upaya mengepung benteng
pertahanan Portugis di Malaka, tentara Portugis dengan persenjataan lengkap
berhasil mematahkan kepungan tentara Kalinyamat. Namun semangat Patriotisme
sang Ratu tidak pernah luntur dan gentar menghadapi penjajah bangsa Portugis,
yang di abad 16 itu sedang dalam puncak kejayaan dan diakui sebagai bangsa
pemberani di Dunia.
Dua
puluh empat tahun kemudian atau tepatnya Oktober 1574, sang Ratu Kalinyamat mengirimkan
armada militernya yang lebih besar di Malaka. Ekspedisi militer kedua ini
melibatkan 300 buah kapal diantaranya 80 buah kapal jung besar berawak 15.000
orang prajurit pilihan. Pengiriman armada militer kedua ini di pimpin oleh
panglima terpenting dalam kerajaan yang disebut orang Portugis sebagai
“QUILIMO”. Walaupun akhirnya perang kedua ini yang berlangsung berbulan-bulan
tentara Kalinyamat juga tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka, namun
telah membuat Portugis takut dan jera berhadapan dengan Raja Jepara ini,
terbukti dengan bebasnya Pulau Jawa dari Penjajahan Portugis di abad 16 itu.
Sebagai
peninggalan sejarah dari perang besar antara Jepara dan Portugis, sampai
sekarang masih terdapat di Malaka komplek kuburan yang di sebut sebagai Makam
Tentara Jawa. Selain itu tokoh Ratu Kalinyamat ini juga sangat berjasa dalam
membudayakan SENI UKIR yang sekarang ini jadi andalan utama ekonomi Jepara
yaitu perpaduan seni ukir Majapahit dengan seni ukir Patih Badarduwung yang
berasal dari Negeri Cina.
Menurut
catatan sejarah Ratu Kalinyamat wafat pada tahun 1579 dan dimakamkan di desa
Mantingan Jepara, di sebelah makam suaminya Pangeran Hadirin. Mengacu pada
semua aspek positif yang telah dibuktikan oleh Ratu Kalinyamat sehingga Jepara
menjadi negeri yang makmur, kuat dan mashur maka penetapan Hari Jadi Jepara
yang mengambil waktu beliau din obatkan sebagai penguasa Jepara atau yang
bertepatan dengan tanggal 10 April 1549 ini telah ditandai dengan Candra
Sengkala TRUS KARYA TATANING BUMI atau “terus bekerja keras membangun daerah”. Untuk
Tahun 2010 ini, Jepara telah mendapatkan sertifikasi Indikasi Geografis
terhadap produk Ukirnya yang sangat khas.[1]
C.
BAHASA,
dan MATA PENCAHARIAN
Masyarakat Jepara sama dengan bahasa
suku Jawa Tengah yaitu menggunakan bahasa jawa. Dialek yang di gunakan yaitu
“O”.
Wilayah Jepara terbagi kedua bagian, di
sebelah Utara adalah daerah Pantai yang mana penduduknya sebagian besar mata
pencahariannya adalah nelayan. Sedangkan bagian Timur daerah pegunungan yaitu
masayarakatnya kebanyakan petani.
D.
AGAMA
DAN KEPERCAYAAN
Agama Islam maju pesat di kalangan
orang Jepara. Sebagian dusun mempunyai masjid, tetapi kepercayaan terhadap
mitos-mitos dan nenek moyang masih kental. Hal ini mendorong mereka
mengkeramatkan kuburan-kuburan nenek moyang. Maysarakat Jepara percaya bahwa
pohon-pohon tertentu, seperti pohon bringin adalah tempat bersemayam
makhluk-makhluk halus.
Agama di Jepara tidaklah agam Islam
saja, ada Kristen, dan Budha, tetapi sangat minoritas. Mayoritas penduduknya
Islam.
E.
SENI BUDAYA DI JEPARA
Di
kabupaten Jepara terdapat berbagai jenis kesenian, yaitu:Tari Kridhajati,
Tari Tayub, Tari Emprak, Samroh, Gambus, Angguk, Dagelan, Kentrung,
Ludruk, Ketropak, Keroncong, Prasah, Perang Obor, Lomban.[2]
Jenis kesenian tradisional Samroh, Gambus, dan Angguk, semuanya bernafaskan
Islam. Jenis kesenian tradisional lainnya adalah dagelan, emprak, ketropak,
ludruk, kentrung, keroncong,dan prasah. Melalui beberapa kesenian tradisional
ini, pemerintah menggunakannya untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat
misalnya mengenai pembangunan dan keluarga berencana.
1. LEGENDA
SENI UKIR JEPARA
Dikisahkan seorang
ahli seni pahat dan lukis bernama Prabangkara yang hidup pada masa Prabu
Brawijaya dari Kerajaan Majapahit, pada suatu ketika sang raja menyuruh
Prabangkara untuk membuat lukisan permaisuri raja sebagai ungkapan rasa cinta
beliau pada permaisurinya yang sangat cantik dan mempesona.
Lukisan permaisuri
yang tanpa busana itu dapat diselesaikan oleh Prabangkara dengan sempurna dan
tentu saja hal ini membuat Raja Brawijaya menjadi curiga karena pada bagian
tubuh tertentu dan rahasia terdapat tanda alami/khusus yang terdapat pula pada
lukisan serta tempatnya/posisi dan bentuknya persis. Dengan suatu tipu
muslihat, Prabangkara dengan segala peralatannya dibuang dengan cara diikat
pada sebuah laying-layang yang setelah sampai di angkasa diputus talinya.[3]
Dalam keadaan
melayang-layang inilah pahat Prabangkara jatuh di suatu desa yang dikenal
dengan nama Belakang Gunung di dekat kota Jepara. Di desa kecil sebelah utara
kota Jepara tersebut sampai sekarang memang banyak terdapat pengrajin ukir yang
berkualitas tinggi. Namun asal mula adanya ukiran disini apakah memang betul
disebabkan karena jatuhnya pahat Prabangkara, belum ada data sejarah yang
mendukungnya.
Sejarah
1.
Pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat,
terdapat seorang patih bernama Sungging Badarduwung yang berasal dari Campa
(Kamboja) ternyata seorang ahli memahat pula. Sampai kini hasil karya Patih
tersebut masih bisa dilihat di komplek Masjid Kuno dan Makam Ratu Kalinyamat
yang dibangun pada abad XVI.
- Keruntuhan Kerajaan Majapahit
telah menyebabkan tersebarnya para ahli dan seniman hindu ke berbagai
wilayah paruh pertama abad XVI. Di dalam pengembangannya, seniman-seniman
tersebut tetap mengembangkan keahliannya dengan menyesuaikan identitas di
daerah baru tersebut sehingga timbulah macam-macam motif kedaerahan
seperti : Motif Majapahit, Bali, Mataram, Pajajaran, dan Jepara yang
berkembang di Jepara hingga kini.
Bentuk dan Motif Ukiran Jepara
Ukiran
Jepara mempunyai ciri khas yang menunjukkan bahwa ukiran itu asli dari Jepara
atau tidak. Salah satu ciri khasnya yaitu bentuk corak dan motif. Daun Trubusan
yang terdiri dari 2 macam yaitu dilihat dari yang keluar dari tangkai relung
dan yang keluar dari cabang atau ruasnya. Ukiran asli Jepara juga terlihat dari
motif Jumbai atau ujung relung dimana daunnya seperti kipas yang sedang terbuka
yang pada ujung daun tersebut meruncing dan juga ada buah 3 buah atau 4 biji
keluar dari pangkal daun.
Selain
itu, tangkai relungnya memutar dengan gaya memanjang dan menjalar membentuk
cabang-cabang kecil yang mengisi ruang atau memperindah. Ragam hias ukiran yang ada pada dinding
Masjid Mantingan menggambarkan stiliran makhluk hidup dengan penampakan dalam
bentuk garis dan daun dan itu menandakan adanya pengaruh budaya Islam pada
ragam hias seni ukir tersebut
.
Mengingat sebelumnya, ragam hias yang
berkembang banyak dipengaruhi oleh inspirasi dari kehidupan manusia, hewan dan
tumbuhan, sedangkan di dalam ajaran Islam ada larangan untuk melukis makhluk
hidup dan binatang. Untuk mengantisipasi dari aturan tersebut, tampaknya para
seniman tetap perlu melakukan aktivitas untuk menuangkan gagasan makhluk hidup,
namun secara tersembunyi dan tidak tampak dengan jelas. Misalnya hiasan ukir
seekor binatang dan diwujudkan dalam jalinan garis dan daun, kesan-kesan bentuk
alam yang realistis diolah dalam bentuk yang ornamentik dan dekoratif namun
masih tetap menampilkan keindahan.
2.
SEJARAH PERANG OBOR
Masyarakat Jepara adalah
masyarakat yang juga kaya akan tradisi. Hal ini terutama yang menyangkut dengan
tradisi masa lampau. Tradisi-tradisi masa lampau ini sebagiannya masih
dipertahankan sebagai sejarah untuk mengenang persitiwanya dan mengambil spirit
nilainya yang masih relefan dengan era sekarang. Salah satu tradisi masyarakat
Jepara yang masih terus dipertahankan adalah upacara Perang Obor. Upacara
Perang Obor ini diadakan setiap tahun sekali di desa Tegal Sambi, kecamatan
Tahunan kebaupaten Jepara Jawa Tengah. Hal ini atas dasar kepercayaan
masyarakat setempat terhadap peristiwa atau kejadian pada masa lampau yang
terjadi di desa tersebut.
Upacara tradisional “Obor
–oboran”(begitulah sebagian orang menyebut) adalah perang yang bersenjatakan
obor. Ini termasuk tradisi unik dan penuh tantangan yang ada di Jepara, Jawa
Tengah dan mungkin di seluruh Indonesia. Obor yang digunakan sebagai senjata
ini terbuat dari gulungan atau bendelan 2 (dua) atau 3 (tiga) pelepah kelapa
yang sudah kering dan bagian dalamnya diisi dengan daun pisang kering (jawa :
Klaras ). Pola dan aturan mainnya pun cukup menghidupkan adrenalin. Karena
seorang pemain harus berhadapan dengan api yang menjilat-jilat. Obor yang telah
tersedia tersebut dinyalakan dengan api yang alat untuk saling menyerang ehingga
sering terjadi benturan–benturan obor yang dapat mengakibatkan pijaran–pijaran
api yang besar, yang akhirnya masyarakat menyebutnya dengan istilah “ Perang
Obor “.
Nilai-nilai
yang terkandung di dalam perang obor di antara yaitu:
a.
Belajar Pada Sejarah
Peristiwa prang obor ini, secara
umum, merupakan penegasan terhadap pentingnya makna sebuah sejarah. Manusia tak
mungkin bisa menyambung rantai kehidupannya tanpa unsur sejarah. Ini menandakan
bahwa betapa pentingnya sebuah sejarah.
Bahkan sebuah pepatah Yunani
kuno mengatakan bahwa sejarah adalah guru kehidupan. Dengan ini menandakan
bahwa sejarah bukanlah cerita masa lampau, tetapi juga pelajaran bagi umat
manusia. Di dalamnya ada berbagai peristiwa yang maknanya akan selalu aktual
untuk era sekarang dan yang akan datang. Bahkan untuk menapaki kehidupan masa
kini, seseorang dituntutuntukmengetahuijejak-jejakperistiwamasalampau.
Maka benar apa yang dikatakan
oleh Nietzsche bahwa manusia hidup membutuhkan sejarah. Sebab, untuk hidup saat
ini secara sehat, manusia membutuhkan pengetahuan masa lalu. Dalam konteks ini,
sejarah menawarkan berbagai contoh peristiwa yang bisa menjadi pelajaran
(i’tibar) untuk membangun peradaban manusia sekarang dan selanjutnya.Maka orang
yang kehilangan sjarah sama halnya kehilangan obor khidupan. Karena ia tidak
lagi mempunyai nilai yang bisa dijadikanacuanataupedomanuntk kehidupannya. Dalam
tradisi Perang obor tersebut tentu banyak dimensi yang bisa dijadikan sebagai
pelajaran. Sebagai bagian dari kebudayaan tentu ia juga mengandung nilai
logika, etika dan estetika. Selain aspek spiritual, ia juga penuh
dengan aspek moral.
b.
Pelajaran tentang tanggung jawab
Berdasarkan cerita di atas di
antara semangat moral yang bisa kita petik dari peristiwa perang obor ini
adalah etos tanggung jawab. Tanggung Jawab adalah sikap moral yang
penting kita tumbuhkan untuk membuat kehidupan kita ini berjalan baik. Hal ini
terutama yang berhubungan dengan pelaksanaan sebuah amanah. Silang sengkarutnya
kehidupan kita baik dalam konteks rumh tangga, bangsa dan negara adalah karena
terjadinya krisis tanggung jawab.
Sikap tanggung Jawab adalah sikap seorang satria. Lawan dari sikap ini adalah pengecut atau pecundang yakni sikap yang suka melarikan diri dari tanggung jawab atau melempar tanggng jawab. Khususnya dalam kehidupan politk kita, kalau kita mencermati, betapa sulitnya mencari orang yang benar-benar mempunyai sikap tanggung jawab. Betapa sulitnya menemukan seorang satria. Yang banyak kita temukan adalah jutru para pengecut, pecundang dan bahkan pengkhianat.
Sikap tanggung Jawab adalah sikap seorang satria. Lawan dari sikap ini adalah pengecut atau pecundang yakni sikap yang suka melarikan diri dari tanggung jawab atau melempar tanggng jawab. Khususnya dalam kehidupan politk kita, kalau kita mencermati, betapa sulitnya mencari orang yang benar-benar mempunyai sikap tanggung jawab. Betapa sulitnya menemukan seorang satria. Yang banyak kita temukan adalah jutru para pengecut, pecundang dan bahkan pengkhianat.
Hal ini terbukti dengan
banyaknya pristiwa yang menyesakkan dada dalam pentas perpolitikan kita. Lihat
saja kasus Lapindo yang tak jelas, maraknya mafia peradilan, tumbuh
suburnya praktik KKN di jajaran eksekutif maupun legislatif, meningkatnya
kemiskinan struktural dan sebagainya. Semua itu adalah cermin dari sikap tidak
tanggung jawab para elit dalam mengurus negara. Mereka telah menyia-nyiakan
amanah rakyat. Mereka bukannya bekerja melayani dan membela kepentingan rakyat,
tetapi justru menjadi budak kapitalisme-neoliberal. Seluruh kebijakan yang
diciptakan bukan untuk memperjuangkn rakyat, tetapi untuk membuka pintu
selebar-lebarnya para cukong –cukong kapitalisme untuk menjajah dan menguasai
aset-aset negara.
Maka melalui perang obor ini
kita juga didorong untuk menjadi oposisi-kritis terhadap pemerintah. Ketika
rakyat memberi amanah kepada pemerintah untuk mengembala, namun kenyataannya
mereka malah sibuk mencari ikan secara illegal hingga mengakibatkan banyak
penyakit sosial seperti kemiskinan, pengangguran, kelaparan dan
keterbelakangan, maka sekarang saatnyalah rakyat bangkit mengobarkan api
perlawanan.
3. UPACARA TRADISIONAL SEDEKAH LAUT
(LOMBAN)
Upacara tradisional sedekah laut atau
sering disebut juga dengan pesta lomban merupakan upacara tradisional
yang diselenggarakan masyarakat Jepara khususnya yang bermata pencaharian
sebagai nelayan. Tradisi ini pada mulanya dipelihara dan dilaksanakan oleh
masyarakat nelayan di sekitar Desa Ujung Batu, namun dalam perkembangannya tradisi
ini telah menjadi milik masyarakat Jepara pada umumnya. Dari waktu
penyelenggaraan dapat dikemukakan, bahwa tradisi ini merupakan puncak dan
sekaligus penutup acara Syawalan yang diselenggarakan seminggu setelah Hari
Raya Idul Fitri.
Menurut sejarahnya dari penjelasan
sesepuh desa, tradisi sedekah laut ini pada mulanya merupakan kebiasaan
kegiatan selamatan oleh kelompok nelayan yang ada di sekitar Kali Wiso Ujung
Batu Jepara. Adapun tujuan penyelenggaraan upacara tradisi terebut sebagai
ungkapan syukur dan pengharapan/permohonan pada sang “penguasa” yang
“mbaurekso” laut karena mereka merasa telah mendapatkan sumber kehidupan yang
berasal dari laut, dan merasa kehidupannya bergantung pada laut. Upacara
tradisi ini lama kelamaan berkembang dan banyak diikuti oleh masyarakat di
sekitarnya.
Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi lomban
yaitu:
a. Bagi masyarakat sekarang ini, lomban ucapan syukur terhadap Tuhan YME
meskipun di satu sisi sebagai pelestarian budaya lama dengan mengaitkan rasa
syukur tersebut yang mbaurekso laut, karena setahun penuh telah
memberikan penghidupan kepada masyarakat nelayan sekaligus pengharapan agar
tahun berikutnya hasil yang di peroleh mengalami peningkatan. Bahkan ada
kepercayaan bahwa kalau tradisi ini di tiadakan maka akan timbul bencana yang
besar di Jepara khusunya, yang akan menimpa masyarakat nelayan.
b.Perang ketupat yang menyertai upacara tradisional
sedekah laut tersebut memiliki makna
simbolik, yaitu menggambarkan situasi masa lalu ketika Ratu Kalinyamat
(penguasa Jepara yang melegenda ) mengadakan ekspedisi ke Malaka dan di hadang
oleh bajak laut hingga terjadi peperangan. Dalam antraksi tersebut digambarkan
bahwa lempar-melempar ketupat dalam masyarakat nelayan menggambarkan serangan
bajak laut terhadap Bupati yang digambarkan sebagai perahu Ratu Kalinyamat.[4]
c. Sesuai dengan
rangkaian kegiatan lomban tersebut, dengan rangkaian kegiatan lomban tersebut,
tampak bahwa tradisi ini dipelihara masyarakat dan mempunyai keterkaitan
dengan unsur keberanian Ratu Kalinyamat dalam berperang,
terutama mengusir penjajah. Peran inilah yang mempunyai keterkaitan dengan
fungsi Jepara sebagai kota pelabuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Pariwisata Jepara. 2007. Sejarah dan Budaya, Legenda
Obyek-obyek Wisata Jepara. Jepara: Cetakan (t.p)
Pemerintah
Kabupaten Dati II Jepara. 1979. Risalah dan Kumpulan Data Tentang
Perkembangan Seni Ukir Jepara. Cet. t.p.
Jurnal
Sejarah CITRA LEKHA, Vol. XV, No. 1 Februari 2011: 43-59 oleh Sri Indrahti & Yety
Rochwulaningsih Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang
[1]
www.wikipedia.com
[2]
Dinas Pariwisata Jepara. 2007. Sejarah dan Budaya, Legenda Obyek-obyek Wisata
Jepara. Jepara: Cetakan (t.p). Hlm. 33.
[3]
Pemerintah Kabupaten Dati II Jepara. 1979. Risalah dan Kumpulan Data Tentang
Perkembangan Seni Ukir Jepara. Cet. t.p. Hlm. 43-45.
[4]
Jurnal Sejarah CITRA LEKHA, Vol. XV, No. 1
Februari 2011: 43-59 oleh Sri Indrahti
& Yety Rochwulaningsih Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas
Diponegoro Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar